Aku melihat dia menghampiriku. Seperti biasa, dia duduk di bangku yang berada di bawahku.
Dikeluarkannya pisau lipat dari kantong baju hangatnya. Hawa dingin yang menusuk tulang pada pagi hari, tidak membuatnya enggan untuk menghampiriku.
Sampai tadi malam yang ditunggunya tidak datang juga. Dan sayatan pisau yang dia buat pada tubuhku pagi ini, menandakan jumlah minggu. Jumlah yang mungkin sudah lebih dari 260 minggu. Jumlah minggu di mana setiap pagi dingin dia menghampiriku. Meski jarak rumahnya tidak jauh dari tempatku berada. Namun cukup membuat tubuh dia lelah, sehingga aku akan menjadi sandarannya. Mata tua itu menatap ke kejauhan dengan penuh asa. Entah kapan asa tersebut akan menjadi nyata.
"Apa kau tidak sakit tiap minggu tubuhmu disayat dengan pisau?" Suara angin menggesek daun akasia.
"Aku? Gila, bila aku merasa biasa-biasa saja ketika pisau itu menyayat tubuhku. Tentu saja teramat sakit. Tidakkah kau lihat cairan yang keluar hasil dari sayatan tersebut? Tapi aku tahu, pasti hatinya lebih sakit daripada tubuhku yang disayat ini." Lanjutku pada daun yang bergesekan karena ditiup angin.
Garis senyum di wajah renta itu sekarang mulai memudar. Terlalu lama sudah dia tidak memperlihatkan tawanya. Penantian lama dan mengecewakan, membuat tarikan bibirnya menurun. Kemuraman di wajahnya pun tidak bisa dihindari.
Aku melihat senyum dan tawa itu ketika Windi berusia empat tahun. Dia selalu bersembunyi di balik lingkar tubuhku yang cukup besar. Tapi sekarang, Windi tidak pernah berkunjung lagi untuk menemuinya. Padahal tempat tinggalnya hanya berjarak dua jam dariku. Papah dan mamah Windi terlalu sibuk untuk datang ke rumah ini. Bahkan hari raya pun mereka tidak sempat datang. Karena mereka lebih memilih untuk berlibur dan menyenangkan Windi ke luar negeri, dibandingkan datang berkunjung menengok perempuan renta itu.
Dia akan kembali masuk ke dalam rumah, setelah diajak oleh seorang wanita berbaju serba putih dengan topi kecil berwarna senada di atas kepalanya. Wanita itu dengan sabar menggandeng perempuan renta tersebut hingga duduk di meja makan.
"Makan dulu yah, Nek!"
Putranya telah memberikan pelayanan terbaik untuk hari tua perempuan itu. Yaitu dengan memperjakan seorang suster untuk menemani dan merawat ibunya. Tapi dia lupa, bahwa ibunya membutuhkan kebahagiaan hati dengan dikelilingi anak, menantu dan cucunya.
Akulah saksi dari semua kebahagiaan dan kesedihannya. Akulah yang selalu mendampinginya. Akulah Akasia yang telah melihat sejarah keluarga ini. Tapi aku tidak dapat membantu mereka, karena aku hanya bisa berdiri di batas pagar rumah dan memberikan keteduhan bagi ibu tua.
#OneDayOnePost
#ODOPbatch5
#TantanganVI