Obrolan di Coffe Shop

by - April 10, 2018



"Miraaaa!” Johanna berteriak senang ketika bertemu denganku. Aku memang sudah berjanji dengan Jo untuk bertemu  di  sebuah  coffee shop di Mall Metropolitan dekat Kalimalang, Bekasi.

“How are you, darling?” lanjutnya sambil kami beradu pipi, tepatnya Jo lah yang menyodorkan pipinya padaku. Aku memegang bahunya ketika melakukan cipika-cipiki.  Sedang Jo?  Tangan kanan menggantung di udara, karena tas tangan yang dibawanya, sedang tangan kiri tergantung sebuah paper bag kecil. Jadi, alhasil cuma pipinya saja yang disodorkan.

Johanna terlihat semakin cantik dengan balutan busana dress berwarna pink dan rambut hitam tergerai  lepas. Sepatu hak setinggi delapan sentimeter menambah kesempurnaan tubuhnya yang ramping dan berkulit kuning langsat. Aku masih terpaku dengan penampilan Jo yang begitu sempurna bagai seorang model. Aku yakin, mata laki-laki seisi coffee shop ini akan terpikat dan patah hati, melihat Jo yang berwajah klasik oriental. Lihat laki-laki tua nyentrik yang duduk di sudut dekat pintu masuk. Mulutnya terbuka, memperlihatkan gigi hitam yang mungkin akan mengundang lalat masuk karena aroma yang dikeluarkan dari mulutnya.

Berbanding terbalik dengan diriku.

Aku, Mira Ratna Djaya, menikah di usia muda karena dijodohkan oleh orang tua yang takut anaknya akan menjadi perawan tua. Sebenarnya sih, bukan usia muda, tapi 25 tahun adalah cukup muda untuk menikah di jaman yang menjelang abad dua puluh ini. Aku hanya mencicipi dunia kerja dua tahun. Setelahnya, aku hanya bekerja di seputaran dapur, mengantar anak sekolah dan tempat tidur.

Aku iri pada Johanna. Dia begitu bahagia dengan hidupnya. Single, cantik, karir bagus, dan semua apa yang diiingini dengan mudah didapat. Tapi, di usianya yang hampir melewati tiga puluh tahun. Belum pernah aku melihat dia berteman dekat dengan makhluk yang bernama laki-laki. Semua foto di FB nya hanya dengan perempuan. Apa di kantornya tidak ada laki-laki? Atau semua mata laki-laki cuma berfungsi sebagai mata kaki?

“Baik, Jo. Kamu apa kabar? Makin terlihat muda saja kamu.” Pujian itu memang tulus kuucapkan. Jo terlihat jauh lebih muda lima tahun dari usianya. Pipinya yang putih kencang terlihat bersemu merah karena pujianku. Mata bulat dengan kontak lensa berwarna cokelat itu terlihat bersinar hanya karena sebuah kata “muda”.

“Terima kasih my dear Mira atas pujianmu. Di mana kita akan duduk?” tanya Jo sambil matanya berkeliling ruangan coffee shop mencari tempat nyaman untuk berbincang-bincang.

“Ah, Jo. Aku sudah menyiapkannya sebelum kau datang. Malah aku sudah memesan black coffee kesukaannmu. Masih sama kan?” Mira mencoba memastikan kalau ia tak salah order.

Sepuluh tahun yang lalu ketika mereka menimba ilmu bersama di kampus, Jo selalu memesan black coffee di kantin. Dia bilang setelah minum kopi tubuh akan serasa relaks, tapi satu hari tidak boleh lebih dari dua cangkir, loh.

“Kamu belum minum kopi kan hari ini? Atau jangan-jangan kamu sudah minum dua cangkir?” sambung  Mira.

“Mira, Mira, Mira,” Jo tersenyum manis pada Mira, “kamu akan selalu menjadi teman baikku. Kamu tidak lupa kesukaanku, kopi hitam tanpa gula. Dan tentu saja aku sudah menyiapkan diri sebelum bertemu dirimu. Satu cangkir tadi pagi dan satu cangkir lagi denganmu sekarang."

"Kau juga baik sekali sudah mau meluangkan waktu untukku. Kau bersedia ijin setengah hari dari kantormu untuk bertemu denganku." Mira merangkul bahu Jo, mengarahkan ke meja yang sudah di pesan.

Pemandangan dua wanita yang sangat berbanding terbalik. Aku hanya berpakaian sederhana, blouse  polos berwarna hijau pastel dengan bercelana panjang coklat senada. Tas yang kubawa pun bukan branded  seperti Jo. Sepatu yang kupakai pun hanya sepasang flat shoes biasa saja, tidak seperti yang dikenakan Jo, ber-hak tinggi dan branded. Tapi, setidaknya aku punya satu kesamaan yaitu rambut hitam yang tergerai.

Aku duduk di sebuah sofa coklat setelah Jo duduk terlebih dahulu. Kupilih posisi sudut sebelah dalam dekat jendela, agar kami lebih leluasa berbincang-bincang.

Kopi yang dipesan oleh ku pun datang. Satu cangkir kopi hitam untuk Jo, dan satu green tea frapuccino untukku.

"Rupanya kau tidak minum black coffee lagi?" Jo mengambil cangkir kopinya dari atas meja kayu bulat. Dan mendekatkan mulut cangkir kopi tersebut ke bibirnya yang terpulas lipstik matte nude  berwarna beige. Siang menjelang sore sepertinya kalah cerah dengan wajah Jo yang yang begitu terlihat segar.

"Masih kok,"  kilahku sambil mengaduk isi gelasku, "cuma kepingin nyoba yang baru aja. Barangkali mood ku nanti jadi sehijau kopi ini."

"Loh, ada apa sih denganmu, Mir? Kamu bahagia kan hidup dengan Ringgo? Aku lihat di FB, dua anakmu lucu-lucu dan cakep." Mimik serius Jo menyelidik wajahku. Diletakkan cangkir kopinya di atas meja. Aku hanya menunduk, sedangkan tangan tetap mengaduk isi cangkir. Sikapku membuat Jo makin penasaran. Dia tidak bertanya lebih lanjut. Disentuhnya tanganku yang satu dengan lembut dan perlahan. Berharap sentuhannya dapat meringankan mood ku yang sedang jelek hari itu.

"Cerita dong, Mir." Jo agak sedikit mendesak, karena aku terdiam dan tidak membalas apa yang ditanyakan olehnya.

Kuangkat wajahku yang sedari tadi menunduk lesu. Jo dan aku saling tatap, terdiam.

"Aku ... ," mulutku mulai mengeluarkan suara. Tanganku berhenti mengaduk  green tea frapuccino .
Jo menunggu dengan sabar potongan kalimat yang akan keluar dari mulutku. Akhirnya.

"Aku tuh sebenernya iri sama kamu, Jo. Aku cemburu." Aku bicara perlahan dengan nada rendah di titik G pada tangga nada.

"Whats!?" Mata bulat dengan kontak lens berwarna coklat itu terbelalak kaget. Sepertinya nada Jo delapan oktaf deh. Pandangan seluruh pengunjung coffee  dengan mudah mendapati suara Jo. Untung Jo cantik, sehingga pengunjung coffee shop  yang laki-laki malah berlomba-lomba menarik perhatian Jo, bukan kesal.

Melihat pemandangan seperti itu. Jo yang tadinya akan meminta maaf, malah takut dengan pandangan mata laki-laki seisi coffee shop tersebut. Dia pun membalikkan tubuhnya kembali padaku. Aku hanya tersenyum.

"Kamu tuh yah, Mir. Bikin aku malu saja." Jo berbicara dengan mencondongkan tubuhnya, hingga meja bulat kayu dan cangkir kopi bergetar karena senggolan tubuhnya.

"Ayo ceritakan apa yang membuatmu iri dan cemburu padaku?" nada Jo mendesak penasaran, "hidupmu sudah sempurna, Mir. Suami yang mencintaimu, anak-anak yang lucu. Aku lihat di medsos, kau dan keluargamu sangat harmonis. Harusnya aku yang iri padamu." Jo menekankan kalimat terakhir, agar aku sadar bahwa tidak ada yang harus dicemburui dari seorang Johana.

Kuhela napas panjang sebelum penjelasan dimulai. Green tea frapuccino yang baru kupesan pertama kali itu, menjadi tak menarik. Demi kelancaran berbicara, mau tidak mau kuminum juga teh tersebut. Tidak kusangka aroma green tea  dari kopi membuat hati sedikit tenang. Terlebih tenggorokanku pun menjadi basah karenanya. Ah, leganya.

"Aku iri dan cemburu sama kamu, karena kamu memiliki segala apa yang tidak aku punya. Kecantikan, pekerjaan, uang, benda-benda yang kau pakai di seluruh tubuhmu, adalah keinginan terbesarku." Aku menunduk, tapi tidak menangis.

"Kau tahu?" Aku mengangkat wajah, dan kulihat sepasang mata berlensa coklat itu tengah memandangku.
 "Aku sudah terlalu lelah dengan hidupku. Aku bahkan tidak berhak atas diriku sendiri." Aku membuang muka, menatap keluar jendela. Kulihat matahari seperti menggelamkan dirinya di balik jembatan layang yang sudah separuh berdiri.

"Bangun subuh, mengurus keperluan anak-anak sebelum sekolah, mengurus keperluan Mas Ringgo sebelum berangkat ke kantor, mengurus rumah. Begitu terus sampai akhirnya malam menjelang. Pekerjaan yang tidak pernah berakhir. Bahkan di hari Sabtu dan Minggu pun, aku harus tetap siaga untuk anak-anak dan suami. Aku lelah, Jo." Terasa lega dada ini setelah mengeluarkan segala uneg-uneg yang kurasa.

Johanna memang teman baik. Dia mendengarkan keluh kesahku tanpa memotong cerita. Hingga akhirnya giliran dia berbicara.

"Mir," Jo mengangkat daguku sehingga mataku beradu pandang dengannya. "Harusnya kau bersyukur. Pekerjaan yang kau anggap melelahkan itu, adalah dambaan setiap perempuan. Tidak semua perempuan diberi rezeki untuk mengurus rumah tangga." Jo menarik tangan dari dagu Mira. Sekarang wajah Jo menunduk. Kulihat setetes kristal jatuh ke pipinya yang kencang dan halus itu.

Masih dengan wajah tertunduk, kuusap bening kristal dipipinya dengan selembar tisu yang ada di atas meja dekat cangkir kopi. Tiba-tiba dia memegang tanganku. Digenggamnya tanganku dengan dua tangannya. Diletakkannya tanganku di dada Jo. Kemudian dia berkata, "Mir, ajarkan aku melupakanmu. Ajarkan aku mencintai laki-laki."
*
Jam sudah menunjukkan hampir pukul lima sore. Aku bergegas pulang dengan menumpang ojek on line yang sudah dipesan. Di tanganku sebuah paper bag , Jo memberikan parfume, oleh-oleh dari Paris. "Pakai ini ketika kau sedang bersama Mas Ringgo. Dia pasti tambah klepek-klepek." Nasihat Jo sebelum kami berpisah di coffee shop sore tadi. Sedang ditanganku satunya lagi, sebuah paper bag berisi tiramisu cake  untuk anak-anakku.

Ah, Jo, tenang saja. Akan.kubantu dirimu agar kau bisa mendapatkan seorang laki-laki yang mencintaimu.
*
Aku, Mira Ratna Djaya, seorang ibu rumah tangga yang paling beruntung dibandingkan temanku, Jo.

#ODOP

You May Also Like

10 komentar

  1. Huah... endingnya kereeennn...
    Para bunda ini, tulisannya ketje-ketje banget😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih Kak Isnania. Biar keren kayak kakak juga 😉😘

      Hapus
  2. Hidup emak!!!💪💪💪 #ehh...😂tulisannya enak mak.. Ketjeh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Kak Lia. Biar sama ketjeh kayak Kakak juga 😘😉

      Hapus
  3. Keren ceritanya, mantap bgt 😍😍😍

    BalasHapus
  4. Baca kalimat terakhir Johana, rasanya aku pen terjun saking syoknya O.O

    BalasHapus