Kirana

by - Agustus 05, 2020

KIRANA
Rahmawati Lestari, Desi Noviany, Nina Amelia Sasmita, dan Rizky Purnama Indah

Foto: clipart.email

"Ibu pergi lagi?", pertanyaan si Sulung mengagetkanku. 
"Iya, Nak. Tolong jaga adik-adikmu. Kamu tidur duluan ya. Tidak usah tunggu Ibu pulang." Yang diajak bicara hanya mengangguk. Kilatan sedih di matanya aku lihat, tapi aku bisa apa. 

Kurapikan barang-barang yang harus kubawa. Aku bergegas, purnama di luar memberi cahaya pada malam. Ah purnama, aku seperti mendapat kekuatan setiap malam terang bulan. Derap langkahku beradu suara dengan nyanyian jangkrik. Di ujung jalan kulihat 3 orang bapak sedang bermain karambol.

Kurapatkan jaket coklat tua yang panjangnya hampir menyamai blus atasan yang kukenakan. Jaket kulit ini cukup menghangatkan tubuhku dari terpaan angin malam.

Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Ah, aku terlambat. Aku harus bergegas. Aku tidak mau sudut-sudut taman dibuat kotor oleh mereka.

Suara gaduh terdengar menembus keheningan malam.
Buk.... Buk... Buk. Suara jok motor dipukul keras.
"Motor siapa ini? Kalau tidak ada yang mengaku ban motor saya kempesin."
Sepasang muda-mudi terlihat menghampiri si Ibu.
"Pada ngapain jam segini belum pada pulang? Kamu anak perempuan gak dicariin orang tua? 
Mau-maunya diajakin mojok di taman. Pada pulang sana nanti saya lapor ke satpol PP nih." Ucap si Ibu 

"Siapa itu bang? Ngapain malam-malam razia sendirian?" tanyaku pada penjual kopi.
"Oh itu, Bu Kirana tiap malam memang razia di taman ini. Dengar-dengar suaminya meninggal ditusuk orang pas lagi nolongin perempuan yang yang mau dikerjain cowoknya. Pelakunya kabur sampai sekarang belum ketangkap. Katanya anak pengusaha jadi kasusnya ditutup-tutupi jadi korban perampokan." 

Otakku mengakses memori masa lalu yang kembali hadir melalui mimpi-mimpi buruk tiga hari terakhir. Mimpi tanganku bersimbah darah. 
Lintasan peristiwa itu hadir lagi kali ini lebih lengkap. Tepat di tempat Ibu muda itu berdiri lima tahun lalu.

Saat itu, aku melintasi taman sepulangnya mengantar suami yang pergi dinas ke pulau seberang. Bu Kirana terlibat pertengkaran mulut dengan muda-mudi di dalam taman gelap. Suara gaduh teriakan menggangguku yang melintas sepulangnya dari mengantar suami ke Bandara. Aku pinggirkan mobil di tepi jalan di seberang taman. Beberapa detik kemudian terlihat Bu Kirana berjalan gontai keluar taman. Dia berusaha berdiri memegang tiang listrik semampunya. Segera kuhampiri dengan berlari.

" Apakah ibu baik baik saja?", kataku. "Apakah ibu terluka?". Ibu Kirana hanya terdiam ketika aku bertanya. Kulihat gerombolan muda mudi tadi sudah menghilang. Tiba-tiba Ibu Kirana menangis. Aku ingin sekali mengecek ke taman tapi apa daya aku tak berani. Akhirnya aku hanya berdiri menemani si ibu yang masih menangis. Namun tiba-tiba saja, bu Kirana menghentikan tangisannya dan mengambil telepon genggam dari saku bajunya. "Pak polisi saya mau melaporkan ada penusukan di taman dan korbannya sudah tak bernyawa". Setelah telepon itu berakhir dan diiringi dengan rasa terkejutku. Aku tak tahu harus berbuat apa, aku terdiam. Kemudian kulihat wajah bu Kirana tanpa ekspresi dan matanya menatap kosong ke depan.




Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti tantangan menulis Cerpen Keroyokan yang diselenggarakan oleh Rumbel Literasi IP Bekasi. 

You May Also Like

0 komentar