Pohon Kersen (cerpen)

by - Agustus 26, 2018

                                 Foto: pixabay

     Adalah rutinitas Iyen duduk di balai atau bermain ayunan dibawah pohon kersen setelah pulang sekolah. Gadis cilik yang duduk di kelas TK B itu selalu berwajah ceria. Energinya seperti iklan batu baterai yang sudah tidak tayang lagi di tv-tv. Rambut kuncir kudanya tidak pernah diam, selalu saja bergoyang mengikuti gerak tubuhnya.

          Teman sebaya Iyen yang menjadi tetangganya dan juga satu sekolah, selalu bermain bersama. Namun hari ini, teman-teman Iyen tidak datang. Padahal hari akan mulai beranjak ke pertengahan. Seharusnya mereka sudah memetik buah kersen beberapa menit yang lalu.

         Tidakkah kau tahu Iyen, kalau teman-temanku sedang terancam? Aku mendengar pembicaraan Yoyon, Sanih, Isah, Dantri, dan Talih ketika kamu sedang mengambil mainan ke dalam rumah kemarin siang. Bahwa hari ini mereka diminta ayah dan ibunya untuk membantu menebang pohon di halaman rumah. Mereka diminta untuk mengumpulkan ranting pepohonan untuk dijadikan bahan bakar.
         Alasan mereka macam-macam tentang pemusnahan teman-temanku itu. Seperti Yoyon, “ayah mau bikinin kamar buat si Mbak yang sebentar lagi nikah.” Atau Sanih, “ibu minta dibagunin warung buat nambah-nambah duit dapur.”  Begitu pula alasan orang tua Isah, Dantri, dan Talih tidak jauh berbeda. Pohonnya udah kegedean lah, capek tiap hari harus menyapu dedaunan yang berjatuhan lah, agar terlihat lebih lega lah. Dan katanya lagi kalau temanku musnah, bekasnya  bisa dijadikan sebagai tempat bermain kalian, anak-anaknya.
           Kemudian kami pun berbincang melalui angin sore. Kami tidak dapat menahan kesedihan hingga akhirnya helaian daun berjatuhan ke tanah. Bukan … , bukan masalah kami yang akan musnah. Tapi bagaimana dengan nasib kalian. Tidakkah para orang tua merasakan bahwa setiap hari mereka mendapati anak-anak mendapat berkecukupan udara bersih yang masuk ke dalam paru-parunya?
           Ah, mengapa kita tidak saling mengerti saja, sih. Kita kan saling membutuhkan. Kita sama-sama hidup. Ya, walaupun tetap saja manusia yang berkuasa. Jangankan kami yang hidup di halaman rumahmu. Teman-teman kami yang hidup di alam liar sana saja tetap ditebang secara membabi buta. Dan alasannya adalah karena kaummu membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dimana teman-teman kami berada.
          Iyen duduk bersila di atas balai dengan sebuah buku cerita di atas pangkuannya. Sesekali bola mata hitam berbulu mata lentik dan lebat itu menengok rumah teman-temannya yang tidak begitu jauh.
        Ada keinginan untuk memanggil Talih ketika dilihatnya Talih sedang membawa tali rafia ke halaman rumah. Mulut Iyen yang sudah terbuka dan siap meneriakkan nama Talih tertahan di tenggorokan. Suaranya tidak jadi keluar karena seorang laki-laki paruh baya datang menghampiri Talih.
         “Jangan!” pelan suara Iyen ketika dilihat pohon kersen di halaman rumah Talih akhirnya jatuh berdebam dan terbaring pasrah di atas tanah. Buku di atas pangkuannya sekarang dipenuhi daun kecil berwarna hijau tua segar dan berwarna coklat. Mereka tidak mampu menahan dirinya lagi pada ranting. Kuncir kuda Iyen bergoyang. Padahal ia hanya duduk bersila di atas balai.
          Ya, angin siang tiba-tiba berteriak dan menjerit mengangkat segala yang ada di sekitarnya. Kepalan tisu bercap bibir merah, bungkus rokok dan puntungnya, gelas plastik bekas berisi teh, jus, dan air mineral, warna-warni kaleng soda, plastik roti rasa kacang, ada juga tusuk lidi bekas cilor.
         Kau lihat Iyen. Lihat di sekelilingmu. Apakah aku dan teman-temanku yang berperan besar atau mereka yang berserakan karena ulah orang-orang dewasa? Mereka selalu mengutamakan kecantikan dan kerapihan diri sendiri tanpa mengikut sertakan kami. Padahal kami bisa menunjang kalian menjadi lebih cantik lagi. Banyak kata seandainya untuk menangkis alasan mereka, Iyen. Tapi kami hanya cuma satu kata seandainya yaitu kesadaran.
**
        Iyen terbaring lemah di tempat tidurnya. Nafas berat diperlihatkan oleh kempis perut ketika ia  mencoba menangkap oksigen. Sayang, Iyen terbatuk ketika oksigen kotor itu mencoba menerobos masuk melalui lubang hidungnya yang berkembang. Terlihat barisan debu halus terbang berbaris rapi membentuk segitiga tidak sama kaki terkena sinar matahari yang menembus kusen jendela.
         Angin belum berhenti juga berteriak dan menjerit semenjak pohon kersen Talih dan teman-temannya, termasuk Iyen dimusnahkan. Pun mereka jarang bermain bersama lagi. Menjelang kemarau, orang tua mereka melarang untuk pergi bermain di luar. Cuaca panas dan berdebu membuat mereka rentan terkena penyakit.
           Pertahanan rumah mereka roboh karena ulah mereka sendiri. Kini tidak ada lagi keceriaan dan tawa Iyen, Yoyon, Sanih, Isah, Dantri serta Talih. Tidak ada lagi ayunan, duduk sila di atas balai dan buku cerita. Tidak ada lagi kersen untuk dipetik lalu dimakan. Tidak ada lagi angin nakal dan bersih menerpa wajah mereka ketika sedang bermain. Dimana napas mereka selalu dikawal dengan oksigen dari hasil dedaunan pohon kersen.
         Kini yang ada hanyalah sebuah rangka kayu yang berdiri doyong. Ayah bilang, “nanti kalau uangnya sudah kumpul. Ayah akan melanjutkan kembali pembangunan warung beras itu.”

#ODOP

You May Also Like

0 komentar